Hari Kemenangan


Allahu Akbar... Allahu Akbar... Allahu Akbar... 

Laa ilaaha illaallahu Allahu Akbar.. Allahu Akbar wa Lillahil hamd...

     Malam kemenangan. Suara takbir terus berkumandang dimana-mana, seantero kota. Dari satu masjid ke masjid yang lain, dari satu musholah ke musholah yang lain, dari satu tajug ke tajug yang lain, kumandang takbir terus bersahut-sahutan. Besok adalah hari besar kita, umat muslim di seluruh dunia. Setelah melewati satu bulan yang penuh perjuangan dan kesabaran, bulan puasa, akhirnya sampai juga pada hari raya Idulfitri.
    I
dulfitri selalu dimaknai dengan arti bahwa kita "kembali kepada suci", begitu kata para ustadz, para kyai, dan guruku berkata. Bahwa kita seperti bayi yang baru lahir ke dunia yang bersih dan suci. Sebab, bagi orang yang memanfaatkan keutamaan bulan puasa yang penuh ampunan, tidak menutup kemungkinan dosa-dosanya telah diampuni oleh Allah, Tuhan Yang Maha Pengampun.

    Idulfitri atau yang lebih dikenal dengan sebutan "Lebaran" identik dengan baju baru. Tiada hari lebaran tanpa baju baru, kira-kira begitu anggapan sebagian besar orang. Termasuk aku juga dulu berpikir demikian, bahwa jika waktu lebaran tiba seakan-akan wajib mengenakan baju baru. Seperti bangga rasanya sholat 'Id berjama'ah mengenakan baju baru. Dengan gagah berada di shaf paling depan.
    Itu dulu. Semakin bertambah usia dan dewasa, semakin sadar bahwa bukan baju baru yang terpenting melainkan tentang kebersamaan dan kebersihan hati. Bajumu boleh baru, tapi jangan lupa untuk tidak merasa paling keren dan tampan. Baru saja kita sebulan menahan nafsu tidak merendahkan orang lain, eh sudah kalah oleh sebuah baju baru. Bajumu boleh mewah, tapi jangan sungkan untuk tetap bersambung silaturrahmi sesama terlebih lagi dengan keluarga. Jangan sampai gara-gara bajumu brand, sampai tidak mau ke rumah saudara karena takut bajumu kotor. Bukan seperti itu Idulfitri yang dimaksud.
    Tapi aku yakin, kita adalah orang-orang yang selalu menjaga silaturrahmi. Contoh kecilnya adalah kita selalu melakukan mudik, hampir setiap tahun. Mudik adalah salah satu bentuk implementasi dari menjaga silaturrahmi. Bagi mereka yang merantau akan pulang ke kampung halaman untuk berjumpa dengan sanak keluarga, hal ini sudah seperti tradisi yang terjadi di negara kita ini. Sayangnya, sekarang lagi-lagi kita dilarang mudik oleh pemerintah dengan segala peraturannya. Aku tau maksud pemerintah baik, agar memutus penyebaran covid-19 ini yang belum tau kapan akan berakhir. Tapi selalu saja pemerintah membuat masyarakat bingung dan berprasangka yang tidak-tidak. Bersamaan dengan dilarangnya mudik untuk masyarakat, muncul berita bahwa sekian puluh bahkan mungkin sekian ratus warga negara asing masuk ke negara kita, dan yang mencengangkannya adalah ada beberapa yang TERPAPAR COVID-19!. Wow, mengejutkan. Bagaimana bisa? Bagaimana hal itu begitu saja terjadi? Tapi, lagi-lagi, aku, kita rakyat biasa tau apa?

    Ahhh sudahlah. Berpikir positif saja.

    Namun tetap saja, siapa yang dapat menahan seseorang dari rasa rindu yang menggebu-gebu? Persis seperti apa yang dikatakan Dilan tahun 1990, katanya rindu itu berat, kamu tidak akan kuat. Dan nyatanya ribuan bahkan ratusan ribu orang nekat tetap melaksanakan mudik. Mereka sudah siap dengan segala resikonya. Dan siapa yang sanggup menahan ratusan ribu orang yang sedang dilanda kerinduan? Biarlah polisi dan petugas-petugas yang lain yang dibuat kewalahan karenanya.

Allahu Akbar... Allahu Akbar... Allahu Akbar...

Laa ilaaha illaallahu Allahu Akbar.. Allahu Akbar wa Lillahil hamd...

    Masih terdengar gema takbir hingga saat tulisan ini dibuat. Suaranya begitu lantang. Allahu Akbar... Bersyukur aku bisa melewati bulan Ramadhan dan berjumpa dengan Idulfitri kesekian kalinya. Iya, Idulfitri memang momen spesial yang ditunggu-tunggu karena THRnya, ups salah karena Idulfitri adalah hari kemenangan - aku tidak tau akankah ada THR di tahun ini, tapi semoga saja ada.
Idulfitri adalah hari dimana kita berhasil menaklukan nafsu-nafsu selama satu bulan penuh - itupun bagi mereka yang tidak asal puasa, atau yang ngaku puasa padahal sudah mampir di warteg di siang harinya. Idulfitri berarti kembali pada kesucian. Suci dari kedengkian hati, dari mencaci maki, dari berbohong, dari mencuri hak orang lain, dari segala sesuatu yang bersifat buruk.
Idulfitri bukan berarti selesai perjuangan, tapi justru menuju perjuangan yang lebih besar, berjuang dalam ke-istiqomahan di hari-hari selanjutnya.

Tahun ini seperti tahun kemarin walaupun pandemi belum berakhir, aku harap aku benar-benar kembali pada "suci".


Kota Udang,  1 Syawal 1442 H

Hariry