Memupuk Mimpi

"Gantungkan cita-citamu setinggi langit! Bermimpilah setinggi langit! Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh diantara bintang-bintang".
( Ir. Soekarno ) 

   Jika melihat anak kecil yang lantang menjawab cita-citanya saat ditanya, aku teringat diriku saat masih kecil. Aku ditanya, "Jika sudah besar mau jadi apa?"
Aku pun menjawab lantang, "Pilot, bu!".
Saat itu aku berpikir dengan menjadi pilot lah aku bisa terbang ke angkasa dan mengelilingi matahari lalu mengambil satu bintang saja untuk dibawa pulang.

    Lucu memang, sejak kapan pesawat komersil dapat terbang ke angkasa, lalu sejak kapan pula kita bisa menggapai bintang dan membawanya pulang. Ya namanya saja anak kecil mereka masih bebas bermimpi. Bahkan ada temanku yang ingin menjadi tokoh-tokoh khayalan seperti ultramen, power ranger, ataupun kamen rader. Kalau ini terlihat mustahil.

    Tapi uniknya, semakin bertambah dewasa kebanyakan ketika ditanya hal yang sama jawabannya tidak selantang saat masih kecil. Mengapa? Apa karena kau tau bahwa itu hanya akan menjadi sebuah ucapan saja? Apa kau tidak yakin dengan dirimu sendiri? Atau apakah tau semakin tidak adilnya dunia ini?

    Semakin bertambah usia mau tidak mau akan semakin sadar bahwa memperjuangkan mimpi menjadi realita tidak semudah menghayalkannya. Akan banyak rintangan yang datang menghadang. Salah satunya soal materi. Ekonomi kadang menjadi penyebab utama dari hilangnya mimpi-mimpi anak muda. Uang memang bukan segalanya, tapi dengan uang semua hal bisa menjadi mudah.
Contoh kecilnya adalah perbedaan fasilitas dalam pembelajaran. Yang memiliki banyak uang tentu dapat membelikan alat penunjang yang memudahkan dalam belajar, atau bisa mengikuti berbagai banyak les privat dan bimbingan belajar (bimbel). Jangan heran mereka yang banyak punya keahlian adalah dari kalangan kaum atas. Sehingga nilai-nilai ujian bagus dan nilai itu menjadi syarat untuk masuk sekolah atau kampus impian. Dan berujung berdampak pada pekerjaan.
Tapi hal tersebut memang hal yang wajar terjadi, lagipula Pak Menteri kita sudah mengubah pola pendidikan agar ujian tidak lagi bisa diajarkan lewat bimbel yang notabennya menguntungkan kaum berduit. Aku setuju, mungkin perlu perbaikan dalam tata kelola pendidikan kita. Namun masih ada juga mereka yang menggunakan uangnya demi mendapatkan jalur instan. Orang dalam misalnya. Mereka yang berjuang mati-matian dikalahkan oleh, "Pak, titip ini anak saya" sembari tangannya bersalaman. Seleksi seolah-olah formalitas belaka.

    Memang sulit dan kita tidak bisa berbuat banyak. Bagaimana uang membuat segalanya menjadi mudah, bagaimana uang adalah segalanya. Hanya cukup tau. Hmmm, persetan dengan orang dalam dan segala 'sesuatu' yang bisa dibeli dengan uang. Karena yang terpenting dari sebuah pendidikan adalah bukan kepintaran melainkan kepribadian yang teladan.

    Teruslah bermimpi kawan-kawanku dan juga diriku. Jika hari ini belum berhasil, esok coba lagi. Hari ini dikalahkan materi, hari esok kita menangkan dengan prestasi. Hari ini dijatuhkan oleh ekonomi, esok kita bangkit untuk buktikan kita layak untuk berdiri. Yakinkan pada diri sendiri, bahwa Tuhan sedang mempersiapkan skenario terbaik untuk kita. Tidak perlu terburu-buru. Guru agamaku pernah berkata, "Segala sesuatu yang terburu-buru itu tidak baik". Nikmati prosesnya dan pada akhirnya, kita semua akan sampai pada apa yang dimimpikan. Dan waktu yang akan membuktikan.

 

Kota Udang, Maret 2021

Hariry

.

.